Minggu, 18 September 2011

kebun kopi Rakyat


Kebun kopi rakyat di Takengon dengan varietas Tim-tim. Varietas ini dikenal memeiliki rasa dan aroma yang kuat dan disukai peminum kopi

kebun kopi Rakyat


Kebun kopi rakyat di Takengon dengan varietas Tim-tim. Varietas ini dikenal memeiliki rasa dan aroma yang kuat dan disukai peminum kopi

Kebun Kopi Arabika di Takengon


Perkebunan kopi arabika di Takengon dengan naungan pohon petai

Greenbeans Kopi Luwak Liar Aarabika


Inilah kopi biji hijau (KBH) atau greenbeans luwak dari kopi arabika, mau..?

Kopi Biji Hijau

Kopi Biji Hijau (Greenbeans) arabika yang terkenal dengan rasa dan arroma,,

Bunga dan buah kopi arabika

Kopi Tungel

Kopi “Rawan” Gayo Menunggu Pembeli

Takengen I Lovegayo---Sejumlah petani kopi di gayo kini sudah mulai mengumpulkan kopi jenis tunggal yang dalam bahasa gayo disebut “kupi rawan”. Kopi tunggal ini di Indonesia lebih dikenal sebagai kopi Lanang dan banyak ditemukan diberbagai lokasi perkebunan kopi Jawa Timur.
Normalnya buah kopi memiliki dua buah biji . Oleh berbagai sebab, salah satu bijinya rusak atau tidak tumbuh sehingga tinggal satu biji. Biji tunggal berbentuk lebih bulat (oval) dibandingkan kopi normal.
Sosok kopi rawan mirip kacang polong. Oleh karena itu masyarakat internasional menyebut kopi lanang peaberry coffee. Padahal, lazimnya dalam cherry bean atau buah kopi terdiri atas dua keping.
Mursada Muhammad Rasyid Ahmad, seorang petani kopi gayo di Tawardi II Kecamatan Kute Panang Takengen menyatakan bahwa hasil panen kopi arabika gayo varietas Ateng Super miliknya, memiliki banyak kopi rawan.
“Hebatnya kopi varietas Ateng Super banyak menghasilkan kopi rawan sehingga secara spesifik saya memisahkannya dengan kopi lainnya”, kata Murasada. Mursada kemudian coba membedakan rasa kopi biji tunggal dengan kopi arabika lainnya, dengan test cup.
Hasilnya, menurut Mursada, rasa kopi rawan lebih keras dibandingkan kopi lainnya. Namun menyinggung khasiatnya, Mursada mengaku belum tahu. “20 persen, dari total produksi Ateng Super, menghasilkan kopi rawan”, sebut Mursada yang lebih akrab disebut Sada
Selain Sada, Sarhan, petani kopi di Kampung Kute Panang, sebuah perbukitan dan lembah yang semua kawasannya diisi dengan kopi ribuan hektar, mengaku hal yang sama. Pada kopi jenis Ateng Super, ditemukan banyak biji tunggal termasuk luwak.
“Sensasi kopi biji tunggal di luwak, tentu akan sangat lebih menggoda”, kata Sarhan. Sarhan yang sudah mulai memperkenalkan produk kopi gayo hingga keluar negeri, termasuk kopi luwak dengan skala kecil.
Sarhan menyatakan bahwa prospek kopi gayo yang unggul di rasa, aroma dan besarnya biji akan semakin besar dimasa depan. Dari berbagai sumber disebutkan, kopi lanang dipercaya orang dapat meningkatkan vitalitas kaum lelaki.
Soal itu, belum ada riset ilmiah yang mendukung. Yang pasti para penyeruput kopi lanang merasakan mata sulit terpejam. Itu lantaran kandungan kafein kopi lanang tinggi, yakni 2,1%.
Menurut periset di Pusat Penelitian Kopi dan Kakao, Jember, Jawa Timur, Dr Ir Sri Mulato, MS, kejadian biji tunggal pada kopi lanang bukan tanpa alasan. “Hal itu bisa terjadi karena anomali pembuahan. Hasilnya, lahirlah biji tunggal dan bersifat infertil,” kata Mulato. Sebab lain, bunga kurang mendapat nutrisi sehingga pembuahan tidak sempurna.
Meski tunggal, ukuran biji kopi lanang lebih kecil daripada biji normal, sekitar 6 - 6,5 mm. Dulu pekebun menganggap kopi lanang sebagai biji cacat gara-gara berukuran mini sehingga membuangnya.
Anggapan citarasa biji berukuran kecil hambar, itu ternyata salah. Ketika disangrai aroma kopi lanang justru sangat kuat.
Menurut Yudi Kristanto, manajer kebun PT Perkebunan Nusantara XII di Malangsari, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur, kopi lanang bukan hibrida dari keluarga Rubiaceae. Sebab, munculnya peasberry dapat terjadi pada kopi jenis arabika maupun robusta.
Namun, kopi lanang lebih banyak ditemukan di jenis robusta. “Pada robusta bisa ditemukan sampai 40 buah per tangkai; arabika 10 - 15 butir per tangkai,” kata Yudi. Satu tangkai terdiri atas rata-rata 70 - 80 buah. Meski begitu, bukan berarti pekebun dapat menemukan kopi lanang di setiap pohon, apalagi di setiap dompol.
Jumlah biji kopi lanang pada jenis robusta dan arabika paling banter 3 - 5% dari total produksi. Memang pada pohon tertentu ada saja yang menghasilkan sampai 10% biji kopi lanang, tapi ada juga pohon yang sama sekali tidak menghasilkan biji kopi lanang. Itu sebabnya produksi kopi lanang terbatas.
Prosesnya olahan kopi rawan , sama dengan biji kopi biasa, dikeringkan hingga kadar air 12% sebelum digiling atau ditumbuk. Biji kopi lanang dari varietas robusta lebih cepat kering daripada yang arabika. “Robusta kering dalam waktu 18 jam; lanang arabica butuh waktu 11 hari,” ucap Yudi.
Selain kopi luwakdan kopi rawan, sensasi kopi lainnya adalah kopi gajah. Kopi gajah tidak kalah lezat. Disebut juga maragogipe atau elephant bean coffee. Ia disebut kopi gajah karena ukuran biji 1,5 - 2 kali lipat lebih besar daripada biji kopi normal. Kopi gajah merupakan mutasi dari varietas arabika. Selain ukuran, daun kopi gajah menguncup, sedangkan arabika daunnya agak lonjong dan langsing.
Kopi gajah pertama kali ditemukan di kota Maragogipe, Provinsi Bahia, Brasil, pada 1870. Berselang 40 tahun biji kopi itu tersebar ke penjuru Amerika Latin, Asia, dan Eropa. PT Perkebunan Nusantara XII mengebunkan kopi gajah secara komersial di kebun Kalisat Jampit, Kabupaten Bondowoso, Jawa Timur. Menurut manajer kebun, Ardi Iriantono, populasi kopi gajah mencapai 700 pohon di lahan 9 ha. Pohon maragogipe mampu berproduksi sampai umur 40 tahun.
Sayangnya produktivitas maragogipe rendah. Total produksi paling banyak 50% dari produktivitas arabika normal yang rata-rata 5 kg per pohon per panen. Soal citarasa? Pada 1928, William H. Ukers, ahli kopi dunia, menyebutkan maragogipe terasa woody (seperti kayu) dan disagreeable (mengerikan). Namun, setelah disilangkan dengan beberapa jenis kopi lain rasa maragogipe semakin menyenangkan.
Ternyata citarasa gajah tergantung lokasi penanaman. “Maklum, setiap daerah memiliki kondisi tanah berbeda,” kata Ardi. Produksi maragogipe asal Indonesia tak kalah baik. “Dengan olahan yang benar maragogipe menghasilkan after taste yang lama dan kuat,” imbuhnya. Rasa asamnya pun bagus. Karena langka harga maragogipe relatif mahal.

Kini di Takengon, banyak pengusaha dan petani kopi mulai memperkenalkan kopi gayo secara terbatas dan sendiri-sendiri ke berbagai tempat. Baik local maupun mancanegara. “Sudah banyak warga Takengon yang kini mulai berbisnis dengan menjual kopi olahan berupa bubuk, roasting dan kopi espresso”, kata Aman Shafa.

Menurutnya, meski dinilai pengetahuan warga gayo tentang kopi olahan terlambat, namun keadaan ini sudah lebih baik dan berharap pihak Pemda mulai membuka diri mendukung warga gayo yang bergerak di kopi olahan.

“Jika bicara kualitas dan rasa kopi arabika, saya berharap peta kopi di Indonesia berkiblat ke gayo.Tinggal para pemangku kepentingan menyiapkan pendukungnya. Seperti pusat penelitian kopi gayo, balai pelatihan kopi gayo, kebun induk serta member pelatihan kopi olahan secara kontinyu”, harap Aman Shafa (Win.RB)

Kupi Tungel/lanang


kopi rawan alias kupi tungel yang lebih populer disebut kopi lanang. kini banyak dikumpulkan petani di Takengon untuk dijual karena nilai ekonominya..kami mengumpulkan kopi jenis ini untuk dijual.

Sabtu, 17 September 2011

Segelas Kopi Untuk Sang Gubernur


Gubernur Aceh, Irwandi Yusuf saat mencoba segelas black coffee saat berada di Takengon beberapa waktu lalu

Segelas Black Coffee Untuk Gubernur Aceh

Secangkir Kopi untuk Sang Gubernur

Merah Mege ,Atu Lintang---Gubernur Aceh, Irwandi Yusuf menenggak segelas Black Coffee yang disajikan barista Gayo Espresso Kupi, Kantin Batas Kota, saat menghadiri sebuah acara tingkat Provinsi Aceh di Merah Mege Kecamatan Atu Lintang Takengon.
Gubernur didampingi bupati Aceh Tengah Nasaruddin berpakaian para raja Gayo termpoe doleloe dengan paduan baju dan celana kerrawang Gayo berwarna kuning. Saat istirahat bersama puluhan tamu dari provinsi dan kabupaten /kota di Aceh, gubernur Irwandi di aula kantor Camat Atu Lintang, tempat makan siang, langsung duduk disamping mesin espresso otomatis dan manual BFC Junior.
Begitu tiba diruangan, Gubernur menuju mesin espresso manual tempatku berdiri menyambutnya bersama rombongan. Sebagai pelayan, tentu saja aku berusaha melayani para tamu sebaik –baiknya. Apalagi sang Gubernur Aceh yang dipilih rakyat Aceh dari jalur independen ini.
Aku tentu saja membuat tandatangan dulu dengan Gubernur. Maksudnya bersalaman. Tangannya lembut, tidak kasar seperti kebanyakan petani di Takengon yang mengolah kebun kopi mereka.
Berperawakan sedang, Gubernur memakai dua cincin dikedua tangannya. Berkacamata minus. Karena memilih mesin espresso manual BFC Junior, aku langsung menggrinder kopi Arabica yang sudah diroasting. Dengan mesin grindel buatan China.
Aroma harum Arabica keluar dan terbawa udara yang membuat selera para pengopi terangsang untuk minum. Gubernur dengan bantuanku memasukkan bubuk kopi arabika kedalam grup handle. Gubernur Irwandi, tanpa kuduga melakukan tamping.
“Wah gubernur Aceh ini ternyata bisa mengoperasikan mesin espresso”, begitu bathinku . Gubernur Irwandi yang memakai kerrawang gayo berwarna kuning lngsung menempatkan handle pada showerhead.
Kemudian segelas Black Coffee mengalir pada gelas ukuran sedang. Krema yang dihasilkan BFC Junior cukup bagus sehingga warna keemasan krema tampak menambah selera. Irwandi kemudian duduk sekitar satu meter dari mesin espresso tempatku bekerja.
BC (Clack Coffee) kuhidangkan. Kepada Gubernur aku memberi gula aren dan gula rendah kalori dalam sachet. Gubernur lebih memilih gula aren. Sebatang rokok kretek mereka ternama disulutnya menemani kopi arabika.
Aku ingat beberapa waktu lalu saat meliput kampanye Partai Aceh di Pegasing. Gubernur Irwandi kala itu cuti dan berkampanye untuk PA yang dipusatkan di Lapangan Pacuan Kuda Belang Bebangka Kecamatan Pegasing.
Saat itu, mata kamera kuarahkan pada Gubernur yang berada di bagian Utara lapangan menghadap ke Selatan yang dipenuhi massa partai PA. Gubernur tampak pucat kala itu. Namun Irwandi tetap berpidato menjaring massa PA agar memilih PA pada pemilu kala itu.
Suaranya agak berat dan cenderung dipaksakan. Berpidato dengan suara datar. “Wah tampaknya Irwandi kurang sehat”, kataku membathin sendiri. Dugaanku benar, roadshow kampanye yang dilakukan Irwandi kala itu membuat Irwandi mungkin kurang istrirahat dan kelelahan.
Sepulang kampanye dari Takengon, Irwandi tumbang dan dilarikan ke sebuah Rumah sakit di Singapura. Dari Iwan Gayo , pengarang buku Pinter, belakangan kuketahui kalau Gubernur menurut Iwan Gayo terkena stroke ringan.
Kala itu, Iwan Gayo mengunjungi Irwandi di luar negeri bersama sang istri.
Kembali ke Irwandi yang minum segelas BC, belum sempat menikmati kopi yang baru diteguknya beberapa kali jerip (teguk), Irwandi sambil duduk bersama empat orang lainnya, tampak berbicara politik. Aku hanya “menguping “ pembicaraan tidak resmi itu karena harus melayani pemesan kopi yang gratis hari itu .
Gratis karena melayani undangan peserta Bulan Bakti Gotong Royong Masyarakat (BBGRM) ke-8, tingkat Provinsi di Kecamatan Atu Lintang (14/6) . Yang dilayani adalah tamu-tamu kelas provinsi pemerintahan dan kabupaten.
Sehingga aku tak perlu menghitung jumlah gelas dan siapa yang meminumnya. Karena berurusan dengan pembayaran. Semuanya sudah dibayar. Kontraknya, melayani 150 gelas. Lumayan. Menurut bahasa pasarnya, roa ikot setengah.
Saat berdialog dengan koleganya itu, beberapa warga masyarakat meminta masuk dan ingin bertemu sang Gubernur. Ada yang perempuan dan laki-laki. Membawa proposal berbagai jenis permohonan bantuan.
Satu persatu, proposal dibaca Irwandi. Menurutku dia hanya melihat total jumlah bantuan yang diminta. Seperti sebuah proposal yang berisi nilai uang sekitar Rp.50 juta. “Wah kalau proposal senilai ini minta sam bupati saja”, kata Irwandi.
Tak mau kalah dengan ucapan Irwandi, bupati Aceh Tengah yang duduk disampingnya mengatakan, “Mereka pingin bantuan itu dari Gubernur”, sebut Nasaruddin. Gubernur Cuma tersenyum dan melihat beberapa proposal lainnya sambil menyerahkannya pada stafnya yang berbaju dinas PNS.
Tak kurang dari lima proposal masuk ke tangan Irwandi. Dan Irwandi hanya melihat angka di proposal itu. (Win Ruhdi Bathin)

Bunga Kopi Arabika

Bunga kopi arabika Gayo yang berwarna putih. Biasanya bunga mekar setelah musim hujan dengan aroma yang wangi.

kopi gayo


kopi rabika gayo

Dimanakah Sumber Kopi Gayo

Kopi Gayo

Gayo adalah nama suku asli yang mendiami daerah ini. Mayoritas masyarakat Gayo berprofesi sebagai Petani Kopi. Varietas Arabika mendominasi jenis kopi yang dikembangkan oleh para petani Kopi Gayo. Produksi Kopi Arabika yang dihasilkan dari Tanah Gayo merupakan yang terbesar di Asia
Kopi Gayo (Gayo Coffee) merupakan salah satu komoditi unggulan yang berasal dari Dataran Tinggi Gayo. Perkebunan Kopi yang telah dikembangkan sejak tahun 1908 ini tumbuh subur di Kabupaten Bener Meriah dan Aceh Tengah. Kedua daerah yang berada di ketinggian 1200 m dpl tersebut memiliki perkebunan kopi terluas di Indonesia yaitu dengan luasan sekitar 81.000 hektar. Masing-masing 42.000 ha berada di Kabupaten Bener Meriah dan selebihnya 39.000 ha di Kabupaten Aceh Tengah.
Kopi yang saat ini sudah dikenal luas sebagai minuman dengan cita rasa khas dan dipercaya mempunyai manfaat besar bagi peminumnya, telah dikenal sejak abad-abad sebelum Masehi. Menurut sumber tertulis kopi berasal dari daerah jazirah Arab. Keterkaitan dunia Arab dengan kopi juga dibuktikan dengan adanya kenyataan bahwa istilah “kopi” berasal dari bahasa Arab, quahweh. Dari dunia Arab, istilah tadi diadopsi oleh negara-negara lainnya melalui perubahan lafal menjadi cafe (Perancis), caffe (Italia), kaffe (Jerman), koffie (Belanda), coffee (Inggris), dan coffea (Latin). Namun diantara pakar masih belum ada persesuaian pendapat tentang daerah asal kopi. Berbagai daerah telah diindentifikasikan sebagai daerah dan habitat asal tanaman kopi oleh pakar dari berbagai keahlian.
Linnaeus seorang botanikus dalam sebuah tulisannya yang terbit tahun 1753 berpendapat bahwa habitat kopi terletak diantara daerah subur Saudi Arabia yang disebut Arabia Felix, yang kemudian dikenal dengan nama Mekkah. Karenanya dia memberi nama tanaman tadi Coffea arabica. Akan tetapi di dalam tulisannya kemudian di tahun 1763 dia menyebutkan daerah asal kopi sebagai “Arabia” dan “Ethiopia”, meskipun dia lebih memberi titik tekan pada Arabia, dan hanya menyebutkan Ethiopia dalam kaitannya dengan Arabia.
Pendapat lain dari Lankester (1832) mengatakan bahwa Coffea arabica dibawa dari Persia ke Saudi Arabia. Sedangkan kajian historis yang dilakukan oleh Southard (1918 membawa pada kesimpulan bahwa pada abad XI bangsa Arablah yang membawa biji-bijian kopi dari suatu daerah di Ethiopia yang disebut Harar. De Condolle, sebagaimana dilaporkan oleh Fauchere (1927) berpendapat bahwa kopi merupakan tanaman liar yang tumbuh di Abyssiria, Ethiopia, Sudan, Mozambique dan Guinea.
Berdasarkan berbagai pendapat di atas, nampaknya sebagian besar para ahli mengidentifikasikan Ethiopia sebagai daerah asal Coffea arabica. Jenis kopi yang kemudian diketemukan di pegunungan Ruwenzeri (Uganda), sekitar 450-600 km di selatan habitat asal Coffea arabica, ternyata dari spesies yang meskipun dekat, akan tetapi berbeda.
Adapun penyebaran tumbuhan kopi ke Indonesia dibawa seorang berkebangsaan Belanda pada abad ke-17 yang mendapatkan biji Arabika mocca dari Arabia ke Batavia (Jakarta). Kopi arabika itu pertama-tama ditanam dan dikembangkan di sebuah tempat bagian timur Jatinegara, Jakarta yang menggunakan tanah partikelir Kesawung yang kini lebih dikenal Pondok Kopi. Penyebaran selanjutnya dari tanaman kopi tersebut sampai juga ke kawasan dataran tinggi Gayo, Kabupaten Aceh Tengah. Dari masa kolonial Belanda hingga sekarang Kopi Gayo khususnya telah menjadi mata pencaharian pokok mayoritas masyarakat Gayo bahkan telah menjadi satu-satunya sentra tanaman kopi kualitas ekspor di daerah Aceh Tengah. Selain itu bukti arkeologis berupa sisa pabrik pengeringan kopi masa kolonial Belanda di Desa Wih Porak, Kecamatan Silih Nara, Aceh Tengah telah memberikan kejelasan bahwa kopi di masa lalu pernah menjadi komoditas penting perekonomian di sana.

Kopi Gayo dalam kajian sejarah


‎Kehadiran kekuasaan Belanda di Tanah Gayo tahun 1904 serta merta diikuti pula dengan hadirnya pendatang-pendatang yang menetap di sini. Pada masa itu wilayah Aceh Tengah dijadikan onder afdeeling Nordkus Atjeh dengan Sigli sebagai ibukotanya. Di sisi lain kehadiran Belanda juga telah memberi penghidupan baru dengan membuka lahan perkebunan, salah satunya kebun kopi di Tanah Gayo (di ketinggian 1.000 - 1.700 m di atas permukaan laut). Kondisi ini berbeda dengan lokasi tanam di Sumatera Timur, kopi ditanam di areal bekas tanaman tembakau Deli yang kurang baik (Sinar, tt:316). Tanaman Tembakau Deli dikatakan kurang baik karena masa depan tembakau Deli waktu itu masih belum pasti.
Sebelum kopi hadir di dataran tinggi Gayo tanaman teh dan lada telah lebih dulu diperkenalkan di sana. Menurut ahli pertanian Belanda JH Heyl dalam bukunya berjudul “Pepercultuur in Atjeh” menerangkan asalnya tanaman lada dibawa dari Mandagaskar (Afrika Timur) dalam abad VII atau VIII ke tanah Aceh (Zainuddin, 1961:264). Sayangnya kedua tanaman itu kurang mendapat perhatian serius dari pemerintah kolonial. Pada akhirnya Belanda kemudian memperkenalkan dan membuka perkebunan kopi pertama seluas 100 ha pada tahun 1918 di kawasan Belang Gele, yang sekarang termasuk wilayah Kecamatan Bebesen, Aceh Tengah. Selain dibukanya lahan perkebunan, di tahun 1920 muncul kampung baru masyarakat Gayo di sekitar perkebunan kopi Belanda itu, dan pada tahun 1925-1930 mereka membuka sejarah baru dengan membuka kebun-kebun kopi rakyat. Pembukaan itu didasari oleh pengetahuan yang diperoleh petani karena bertetangga dengan perkebunan Belanda itu. Pada akhir tahun 1930 empat buah kampung telah berdiri di sekitar kebun Belanda di Belang Gele itu, yaitu Kampung Belang Gele, Atu Gajah, Paya Sawi, dan Pantan Peseng (Melalatoa, 2003:51).
Salah satu bukti kepurbakalaan yang berkaitan dengan komoditas kopi ini adalah temuan berupa sisa pabrik pengeringan kopi (biji kopi) di dekat Mesjid Baitul Makmur, Desa Wih Porak, Kecamatan Silih Nara, Kabupaten Bener Meriah (dulu Aceh Tengah), Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (Susilowati,2007). Secara astronomis terletak pada 040 36.640′ LU dan 0960 45.660′ BT (47 N 0251594 UTM 0510018). Bekas pabrik pengeringan kopi tersebut menempati lahan berukuran 110 m x 60 m, sebagian kini telah menjadi lahan Pesantren Terpadu Darul Uini. Pada lahan tersebut terdapat sisa bangunan berupa sisa pondasi, sisa tembok bangunan, bekas tempat kincir air, dan beberapa kolam tempat proses pengeringan kopi.
Tempat kincir air ditandai dengan 3 buah tembok berketebalan 15 cm, tinggi sekitar 2 m dan di bagian permukaan atasnya dijumpai masing-masing 2 buah baut besi yang diperkirakan sebagai tempat bertumpunya kincir angin. Di dekat bekas tempat kincir air tersebut dijumpai dua buah kolam tempat pemrosesan kopi, salah satunya berukuran panjang sekitar 2,65 m, lebar, 2,33 m dan tinggi sekitar 1,25 m. Pada bagian selatan terdapat saluran air yang menuju ke kolam di bagian selatan. Selain itu juga terdapat bekas tembok kolam pengering gabah kopi di bagian paling selatan setelah tembok saluran air. Pada bekas tembok kolam tersebut masih terdapat lubang saluran air di bagian utara. Setelah masa kemerdekaan pabrik tersebut pernah terlantar, selanjutnya sekitar tahun 1960-an hingga tahun 1979 pabrik tersebut pernah dikelola oleh PNP I, kemudian kepemilikannya berpindah ke PT Ala Silo dan terakhir lahannya kini dimiliki oleh Dinas Perkebunan Pemerintah Daerah Kab. Aceh Tengah.
Pada paruh kedua tahun 1950-an setelah lepas dari gangguan keamanan akibat pergolakan DI/TII yang menyebabkan keadaan ekonomi rakyat morat-marit, orang Gayo mulai berkebun kopi. Pada periode itu hutan-hutan dibabat untuk dijadikan kebun kopi. Pada tahun 1972 Kabupaten Aceh Tengah tercatat sebagai penghasil kopi terbesar dibandingkan dengan kabupaten lainnya di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Luas areal kebun kopi di Kabupaten Aceh Tengah pada tahun 1972 adalah 19.962 ha.
Perkebunan kopi bagi warga Kabupaten Bener Meriah (pemekaran dari Kab. Aceh Tengah) dan Kabupaten Aceh Tengah merupakan urat nadi perekonomian yang paling menonjol, selain perdagangan sayur mayur seperti kol/kubis, wortel, cabai, dan cokelat. Sebagai komoditas ekspor, 27.953 keluarga di Aceh Tengah menggantungkan hidup mereka pada budi daya kopi dengan luas areal 46.392 ha, dan dengan rata-rata 720,7 kg/ha/tahun (BPS Kab. Aceh Tengah 2005:144-145). Konflik yang berkepanjangan menyebabkan sedikitnya 6.440 ha lahan kopi telantar dan 5.037 keluarga kehilangan lapangan kerja.
Setelah konflik mereda dan ditandatanganinya perjanjian damai RI-GAM pada akhir tahun 2005, para petani kopi kini mulai berani bercocok tanam di kebun kopi yang terletak jauh di lereng gunung, tidak sekedar menanam kopi di pekarangan rumah. Harga jual kopi pun -meski dipengaruhi harga kopi dunia- relatif stabil dan terus menguat karena jalur perdagangan antara Takengon - Bireun - Lhoksemauwe - Medan dapat dilalui kendaraan angkut tanpa resiko besar. Kini, aktivitas perkebunan kopi mulai bangkit kembali dan kini telah menjadi tulang punggung perekonomian di Kabupaten Aceh Tengah dan Bener Meriah.
Sumber:Kopigayo.wordpres.com

Buah Kopi Arabika Gayo Matang


Inilah buah kopi jenis arabika gayo yang telah benar-benar masak.

Buah Kopi Arabika Gayo


Buah kopi Arabika Gayo di Dataran Tinggi Gayo yang berada pada ketinggian 1200Mdpl keatas dan merupakan kopi specialty. Kopi gayo dikenal dengan rasa dan aroma

Jumat, 16 September 2011

Aku Mencoba Menjadi Roaster Kopi

Aku Belajar Meroasting
Aku memelototi buah kopi kering yang disebut di Gayo Kopi Biji Hijau (KBH) .Biji-biji pilihan arabika yang akan diroast. Warnanya memang hijau. Keras, setelah coba digigit untuk meyakinkan kadar airnya sudah mati. Kadar air mati sebutan local (Weh mate) untuk kadar air greenbeans yang dibawah 14 persen.
Kemudian sekitar 200 gram kbh ini kumasukkan kedalam drum mesin roasting Gene Café.Kuatur suhu dan lamanya penggongsengan. Tekan tombol, mulailah gc bekerja. Berputar menggulirkan buah kopi secara lambat dan merata dengan motor drum yang digerakkan listrik.
Suara biji kopi beradu dan desing halus suara mesin gc menjadi bagian irama roasting.Warna kopi hijau berubah perlahan menjadi coklat muda. Semakin lama semakin mengarah pada coklat tua. Aroma kopi yang terbakar keluar dari cerobong asap kecil gc. Aroma khas kopi yang dipanaskan.
Hmmmm. Bau yang kukenali dari kecil saat para ibu-ibu di antero Gayo menggonseng kopi di kuali. Terkadang digonseng diluar rumah dengan perapian kayu. Aroma menyebar . Aku meroasting arabika didalam ruangan kantin tempatku bekerja sebagai pelayan kopi.
Aku bermain dengan suhu, waktu dan biji-biji kopi yang menjadi sumber napas ekonomi rakyat gayo sejak zaman penjajahan Belanda.Tak terbayangkan semula.Aku mulai mengenali warna-warna kopi yang dibakar listrik. Coklat hingga mengarah ke hitam. Juga kulihat kopi yang berminyak pada suhu tinggi. Seperti kopi diminyaki mentega.
Aku juga mulai menggunakan indera penciuman guna mengetahui bau kopi selepas diroasting. Dunia baru. Meski harus belajar dari nol tentang roasting. Tapi, sumpah, aku mulai mencintai pekerjaan ini. Belum lagi soal berbagai cita rasa kopi. Akh….kopi, terlambat aku mengenalimu…….Bismillah.
------
Setelah menjadi pelayan bagi para peminum kopi arabika hasil kebun kopi rakyat Gayo, selama empat bulan, kini aku belajar menggonseng kopi. Istilah umumnya disebut meroasting kopi. Ada beberapa alas an kenapa harus menjadi seorang roaster.
Pertama , ketergantungan pada produsen kopi roasting di Takengon sangat berdampak negatip pada kantin tempatku bekerja. Apalagi jika kopi roastingnya tidak ada saat kantin sedang perlu. Akibatnya peminum kopi terpaksa kecewa karena bahan baku kopi tidak ada. Sudah banyak warga local yang kecanduan kopi arabika yang disajikan melewati mesin espresso manual dan otomatis.
Pecandu kopi ini kemudian menjadi pelanggan tetapku. Ada yang sehari minum dua kali. Pagi dan petang. Ada yang sekali duduk minum dua sampai tiga gelas kopi dengan menu berbeda. Alasan lainnya adalah harga kopi roasting terus naik.
Jika awalnya satu kilogram kopi roasting masih kubeli Rp.180 ribu /kg, kini naik menjadi Rp.225 ribu. Harga yang menurutku mahal di sentra kopi arabika terbesar di Asia. Dataran Tinggi Gayo. Setelah berkonsultasi dengan beberapa rekan-rekan penikmat kopi dan melihat berbagai jenis mesin roasting di internet, akhirnya pilihan jatuh pada mesin Gene Café.
Pilihan pada Gene Café model CBR-101 karena praktisnya dan harga yang relative terjangkau. Meski kapasitasnya tergolong kecil, 300 gram. Apalagi, seorang teman dijejaring social fb, Budiono Kwee sudah menggunakan mesin ini untuk cafenya.
Maka mulailah aku mencoba menjadi roaster. Bismillah. Dunia roaster ternyata sangat menarik. Permainan suhu dan limit waktu meroaster menjadi kata kunci yang harus dicermati dan dicatat. Pertama meroaster, aku mengambil sampel kopi dari kebunku sendiri.
Kebun ini berisi kopi arabika. Paling tidak ada tiga varietas yang kutemukan di kebun yang kubeli dari hasil menjual sapi bali yang kupelihara sejak beberap tahun silam dan satu-satunya modalku. Varitas tersebut antara lain, timtim, arab jemen dan ateng.
Guna menghilangkan cacat rasa, aku hanya memetik kopi buah merah saja. Buah kopi yang benar-benar sudah masak. Pengetahuan ini kuperoleh setelah banyak berdiskusi dan mengekplore internet. Salah satu sumber diskusiku adalah Yusrin dari Bergendal Kopi yang sudah terlebih dahulu menjadi roaster di Bener Meriah. Dan berhasil menjadi jutawan dari bisinis kopi.
Khususnya kopi bubuk, café dan kopi roasting. Bergendal kopi bisa menghasilkan puluhan hingga ratusan juta dari usaha kopi ini. “Saya terlambat terjun ke dunia bisnis kopi. Kalau dari dulu saya tahu bisnis kopi sangat prospek , saya sudah keluar dari pns dari dulu”, kata haji Yusrin suatu kali kepadaku.
Haji Yusrin memiliki alat roasting berkapasitas 5 kg yang telah membuatnya menjadi satu-satunya roaster di Takengon dan Bener Meriah kala itu. Meski kini sudah ada beberapa roaster lainnya. Salah satunya Premium kopi milik Wawan. Di Kampung Tingkeum Kecematan Bukit Kabupaten Bener Meriah.
Pemium Kopi menyediakan kopi kemasan bubuk untuk luwak dan non luwak. Juga menjual kopi roast kepada pelanggannya. Premium Kopi, kata Wawan tidak dijual di super market. Tapi di pasar terbatas khusus pelanggannya saja , meski beberapa super market di Takengon meminta produk ini.
Guna menjamin kualitas kopi yang dihasilkan, Premium Kopi hanya mengambil kopi dari Tiga lokasi di Bener Meriah dan Takengon berupa kopi merah gelondongan yang kemudian diolah dengan mesin roaster berkapasitas 5 Kg yang didatangkan Wawan dari Taiwan.
Pasaran kopi olahan Premium Kopi sudah memasuki pasaran Asia. Premium Kopi juga ikut pameran di beberapa negara tetangga Indonesia.
-------------------------

Dari hasil meroaster kopi dari kebun milikku, aku menggunakan level roasting city roast. Yakni pada suhu 250 derajat celcius dengan waktu 17 menit. Hasilnya, oke. Keasaman kopi tidak terasa dan menghasilkan taste yang kusukai.
Warna kopi roasting dari city roast ini coklat. Agak coklat tua. Menurut petunjuk buku manual Gene Café, City Roast menghasilkan kopi standar dengan rasa dan aroma seimbang. Aku mulai meroaster beberapa wilayah penghasil kopi di Takengon.
Salah satunya dari daerah perkampungan Tawardi II. Sebuah lokasi penghasil kopi ternama di Takengon di daerah Kecamatan Kute Panang Takengon yang berada diatas 1200 dpl. Daerah ini menghasilkan kopi yang banyak diburu para pembeli kopi eksport karena besarnya biji yang dihasilkan.
Kopi milik Mursada Muhammad Rasyid Ahmad, petani kopi di Tawardi II, varietas ateng super yang sedang dikembangkan dalam jumlah banyak. Coba diroast. Hasilnya aroma kurang terasa namun rasanya lebih ringan.
Mursada dan keluarganya , petani kopi di Kampung Tawardi II , pernah disebut petani setempat “gila” karena melakukan revolusi dibidang penanaman kopi. Revolusi kopi oleh keluarga Mursada adalah dengan menanam kopi ateng super dalam satu hektar sebanyak 7000 batang.
Mursada mengaku memiliki beberapa tehnik agar 7000 kopi ateng supernya mendapat jatah cahaya matahari dan unsure hara. Cara atau tehnik ala Mursada tidak bisa disebutkan disini karena merupakan “rahasia perusahaan”.
7000 batang kopi ateng jaluk milik Mursada kini sudah mulai panen dan Mursada terus melakukan ekspansi penanaman di beberapa lokasi di Takengon dan Bener Meriah. Selain berevolusi dibidang penanaman kopi, Mursada juga membuat pupuk kimia.
Uji coba meroaster kopi kemudian dilakukan dengan meroaster kopi dari daerah Atu Lintang Kecamatan Atu Lintang Aceh Tengah. Di Daerah Atu Lintang Takengon, saya mengunjungi sebuah lokasi penangkaran kopi musang sebutan warga gayo untuk kopi luwak.
Apalagi, konon, kopi dari daerah ini pernah memenangkan test cup kopi di Bali tahun 2010 lalu. Penangkaran kopi luwak di Atu Lintang , Despot, ini berada di lokasi transmigrasi. Dengan varietas kopi ateng. Benara kopi. Begitu nama produk kemasan kopi dari daerah Atu Lintang ini.
Benara kopi memiliki lahan kopi ateng seluas 4 hektar. Benara Kopi sudah mengemas kopi yang dihasilkannya dalam bentuk kopi bubuk dan roasting untuk civet kopi. Saya mencoba membeli kopi roasting luwak dalam kemasan ekslusif yang sudah memakai alumunium foil dan dilengkapi lubang udara.
Hasilnya, rasa dari civet kopi Atu Lintang kena dilidah. Walau lagi-lagi menurut saya aroma dari kopi luwak ini tak begitu kentara. Testing kopi kemudian dilanjutkan kedaerah Jagong Jeget Kecamatan Jagong Aceh Tengah.
Jagong berada dibagian Selatan Aceh Tengah . Merupakan kawasan transmigrasi lainnya. Dilokasi ini ada penangkaran luwak milik seorang transmigran, Sarjiman. Sarjiman memiliki 24 ekor luwak. Tidak kurang dari 100 -200 kilogram kopi luwak bisa dihasilkan Sarjiman dari penangkarannya.
Tergantung musim kopi. Karena bila kopi sudah mulai panen raya, hasil kopi luwak juga lebih banyak. Dari 2 kilogram luwak Sarjiman yang diroasting dengan Gene café, dicoba dengan beberapa level suhu.
Suhu yang dipakai antara lain, 245 derajat celcius dengan waktu 15 menit. Warna kopi coklat muda. Dan suhu 250 derajat celcius dengan waktu 17 menit. Warna kopi roaster coklat tua. Dari variant suhu dan waktu ini, rasa khas kopi luwak terasa. Namun Aroma tidak muncul atau tidak terlalu kentara di hidung.
Sarjiman mengaku belum memiliki pasaran kopi luwaknya secara kontinyu dan pasti. “Siapa saja yang pesan akan diberikan. Belum ada pasaran tetap”, kata Sarjiman. Dikatakan, varietas kopi yang diberikan pada luwak adalah varietas ateng jaluk dan satu jenis kopi lainnya.
Beberapa konsumen luwak dari Sumetara Utara sudah mulai meminta dan mencoba merasakan kopi luwak Sarjiman. Diantaranya pengusaha keturunan China dari Medan. Tapi pengusaha ini meminta Sarjiman melakukan fermentasi ulang kopi luwak yang dihasilkan dengan mengemasnya dalam plastic besar.
Kopi luwak yang dikemas dalam plastic ini setiap hari diaduk-aduk sebelum dikeluarkan dan dikeringkan. Sarjiman berharap memiliki pasaran yang kontinyu dari kopi luwak yang dihasilkan. Karena bila tidak, seorang penangkar luwak di Despot Linge Kecamatan Atu Lintang Takengon, kisahnya sangat miris.
Begini kisahnya. Warga Transmigran ini sebut saja Narto oleh seorang kerabatnya dibelikan dua ekor luwak untuk dijadikan luwak tangkaran penghasil kopi luwak yang terkenal mahal. Sayang setelah memproduksi kopi luwak dari dua musang yang dipeliharanya, Narto tidak memperoleh pasar yang pasti dari produknya.
Akhirnya Narto menjual kedua luwaknya yang merupakan hibah kerabatnya dan menjual kopi luwaknya dengan harga standar kopi sisa atau lelesen dalam bahasa local gayo. Apalagi saat memlihara luwak, Narto harus setiap hari menyediakan berbagai jenis buah selain kopi yang biasa dikonsumsi luwak.
Hal itu memberatkan Narto dan keluarganya yang masih hidup pas-pasan dari hasil kopi. Apalagi dari pengamatan visualku, lokasi transmigran di Despot Linge ini , kopi yang ditanam kurang baik karena keadaan topografi daerahnya.
Angin di daerah Despot Linge bertiup sangat kencang dengan suhu yang sangat dingin. Keadaan ini diperparah tidak adanya naungan kopi seperti pohon ptai atau lamtoro. Akibatnya, amatanku, buah dan daun kopi jauh lebih kecil dibandingkan daerah lain di Takengon dengan varietas yang sama.
Menurut penelitian DR Surip Mawardi dari Jember beberapa tahun lalu, yang kemudian melaunching varietas kopi Gayo 1 dan 2. Untuk rasa dan aroma kopi, disarankan menggunakan varietas Timtim dan Borbor.
Benar apa yang diungkapkan Wiknyo, seorang peneliti kopi di Paya Tumpi Takengon. Menurut Wiknyo, Belanda sudah memplot kawasan kopi yang ideal di Takengon. “Semua lokasi kopi terbaik di Takengon biasanya diseputaran gunung api. Seperti kawasan Paya Tumpi, Burni Bius, Arul Gele, Atu Gajah dan sejumlah lokasi lainnya”, kata Wiknyo.
Lokasi-lokasi ini merupakan lokasi bekas perkebunan Belanda yang berada dibawah kawasan Gunung Berapi Bur Salah Nama (Bur Susu) atau lebih dikenal dengan Bur Pepanyi. Dari hasil tes cup, kopi dari daerah ini memiliki rasa dan aroma yang kentara. Terutama jenis timtim.
Menilik hasil kopi dari Takengon, rata-rata produksi arabika kopi gayo masuk dalam kategori kopi spesialti. Apalagi banyak kawasan perkebunan kopi berada diatas ketinggian 1200 dpl. Bahkan ada yang diatas 1600 dpl.
Meroasting kopi ternyata bukan saja perkara suhu dan lamanya waktu satu periode meroasting. Serta sejumlah teori baku meroasting , seperti cara Italy dan Amerika. Tapi juga harus dimasuki dengan “perasaan” alias seni menggonseng.
Apalagi kopi yang diroast kadar airnya masih sangat variatif dan cenderung tidak sama. Akibat tidak samanya kadar air ini, rasa dan aroma bisa tidak sama dan berubah tidak sesuai yang diinginkan. Perhatian sebelum meroaster harus memasuki pengetahuan kadar air kopi.
Seni meroasting baru didapat jika “jam terbang’ meroasting sudah tinggi. Dengan begini, teori dalam buku tentang roasting bisa jadi tidak dipakai tapi sudah menggunakan cara dan gaya local sesuai sikon. Tapi hasil roaster tentu harus sesuai selera konsumen, penikmat kopi. Tidak asam dan terlalu hangus sehingga berakibat pada naiknya asam lambung.
Munculnya keluhan pelanggan terhadap kopi yang diminum merupakan indikasi ada masalah dalam meroasting kopi. Keluhan ini biasanya lebih pada kopi yang terasa “asam”. Banyak pelanggan yang mengatakan bahwa mereka segan minum kopi karena bermasalah dengan asam lambung mereka.
Hal ini dapat dimengerti karena kebanyakan kopi bubuk yang dikonsumsi peminum kopi di Takengon bersumber dari kopi robusta. Padahal pengopi dunia lebih menyukai kopi arabika. Meski kapasitas roasting Gene café sangat kecil, namun dunia roaster kopi sudah mulai kumasuki.
Sama halnya dengan meracik kopi, bukan saja perkara kerja tapi juga bernilai seni. Meroasting juga ternyata menyediakan dunia “perasaan” atau seni bagi mereka yang menekuninya. Semoga aku juga menjadi roaster, bukan saja pelayan atau barista. (Win Ruhdi Bathin)
























Hasil Roastingku..








.