Sabtu, 17 September 2011

Dimanakah Sumber Kopi Gayo

Kopi Gayo

Gayo adalah nama suku asli yang mendiami daerah ini. Mayoritas masyarakat Gayo berprofesi sebagai Petani Kopi. Varietas Arabika mendominasi jenis kopi yang dikembangkan oleh para petani Kopi Gayo. Produksi Kopi Arabika yang dihasilkan dari Tanah Gayo merupakan yang terbesar di Asia
Kopi Gayo (Gayo Coffee) merupakan salah satu komoditi unggulan yang berasal dari Dataran Tinggi Gayo. Perkebunan Kopi yang telah dikembangkan sejak tahun 1908 ini tumbuh subur di Kabupaten Bener Meriah dan Aceh Tengah. Kedua daerah yang berada di ketinggian 1200 m dpl tersebut memiliki perkebunan kopi terluas di Indonesia yaitu dengan luasan sekitar 81.000 hektar. Masing-masing 42.000 ha berada di Kabupaten Bener Meriah dan selebihnya 39.000 ha di Kabupaten Aceh Tengah.
Kopi yang saat ini sudah dikenal luas sebagai minuman dengan cita rasa khas dan dipercaya mempunyai manfaat besar bagi peminumnya, telah dikenal sejak abad-abad sebelum Masehi. Menurut sumber tertulis kopi berasal dari daerah jazirah Arab. Keterkaitan dunia Arab dengan kopi juga dibuktikan dengan adanya kenyataan bahwa istilah “kopi” berasal dari bahasa Arab, quahweh. Dari dunia Arab, istilah tadi diadopsi oleh negara-negara lainnya melalui perubahan lafal menjadi cafe (Perancis), caffe (Italia), kaffe (Jerman), koffie (Belanda), coffee (Inggris), dan coffea (Latin). Namun diantara pakar masih belum ada persesuaian pendapat tentang daerah asal kopi. Berbagai daerah telah diindentifikasikan sebagai daerah dan habitat asal tanaman kopi oleh pakar dari berbagai keahlian.
Linnaeus seorang botanikus dalam sebuah tulisannya yang terbit tahun 1753 berpendapat bahwa habitat kopi terletak diantara daerah subur Saudi Arabia yang disebut Arabia Felix, yang kemudian dikenal dengan nama Mekkah. Karenanya dia memberi nama tanaman tadi Coffea arabica. Akan tetapi di dalam tulisannya kemudian di tahun 1763 dia menyebutkan daerah asal kopi sebagai “Arabia” dan “Ethiopia”, meskipun dia lebih memberi titik tekan pada Arabia, dan hanya menyebutkan Ethiopia dalam kaitannya dengan Arabia.
Pendapat lain dari Lankester (1832) mengatakan bahwa Coffea arabica dibawa dari Persia ke Saudi Arabia. Sedangkan kajian historis yang dilakukan oleh Southard (1918 membawa pada kesimpulan bahwa pada abad XI bangsa Arablah yang membawa biji-bijian kopi dari suatu daerah di Ethiopia yang disebut Harar. De Condolle, sebagaimana dilaporkan oleh Fauchere (1927) berpendapat bahwa kopi merupakan tanaman liar yang tumbuh di Abyssiria, Ethiopia, Sudan, Mozambique dan Guinea.
Berdasarkan berbagai pendapat di atas, nampaknya sebagian besar para ahli mengidentifikasikan Ethiopia sebagai daerah asal Coffea arabica. Jenis kopi yang kemudian diketemukan di pegunungan Ruwenzeri (Uganda), sekitar 450-600 km di selatan habitat asal Coffea arabica, ternyata dari spesies yang meskipun dekat, akan tetapi berbeda.
Adapun penyebaran tumbuhan kopi ke Indonesia dibawa seorang berkebangsaan Belanda pada abad ke-17 yang mendapatkan biji Arabika mocca dari Arabia ke Batavia (Jakarta). Kopi arabika itu pertama-tama ditanam dan dikembangkan di sebuah tempat bagian timur Jatinegara, Jakarta yang menggunakan tanah partikelir Kesawung yang kini lebih dikenal Pondok Kopi. Penyebaran selanjutnya dari tanaman kopi tersebut sampai juga ke kawasan dataran tinggi Gayo, Kabupaten Aceh Tengah. Dari masa kolonial Belanda hingga sekarang Kopi Gayo khususnya telah menjadi mata pencaharian pokok mayoritas masyarakat Gayo bahkan telah menjadi satu-satunya sentra tanaman kopi kualitas ekspor di daerah Aceh Tengah. Selain itu bukti arkeologis berupa sisa pabrik pengeringan kopi masa kolonial Belanda di Desa Wih Porak, Kecamatan Silih Nara, Aceh Tengah telah memberikan kejelasan bahwa kopi di masa lalu pernah menjadi komoditas penting perekonomian di sana.

Kopi Gayo dalam kajian sejarah


‎Kehadiran kekuasaan Belanda di Tanah Gayo tahun 1904 serta merta diikuti pula dengan hadirnya pendatang-pendatang yang menetap di sini. Pada masa itu wilayah Aceh Tengah dijadikan onder afdeeling Nordkus Atjeh dengan Sigli sebagai ibukotanya. Di sisi lain kehadiran Belanda juga telah memberi penghidupan baru dengan membuka lahan perkebunan, salah satunya kebun kopi di Tanah Gayo (di ketinggian 1.000 - 1.700 m di atas permukaan laut). Kondisi ini berbeda dengan lokasi tanam di Sumatera Timur, kopi ditanam di areal bekas tanaman tembakau Deli yang kurang baik (Sinar, tt:316). Tanaman Tembakau Deli dikatakan kurang baik karena masa depan tembakau Deli waktu itu masih belum pasti.
Sebelum kopi hadir di dataran tinggi Gayo tanaman teh dan lada telah lebih dulu diperkenalkan di sana. Menurut ahli pertanian Belanda JH Heyl dalam bukunya berjudul “Pepercultuur in Atjeh” menerangkan asalnya tanaman lada dibawa dari Mandagaskar (Afrika Timur) dalam abad VII atau VIII ke tanah Aceh (Zainuddin, 1961:264). Sayangnya kedua tanaman itu kurang mendapat perhatian serius dari pemerintah kolonial. Pada akhirnya Belanda kemudian memperkenalkan dan membuka perkebunan kopi pertama seluas 100 ha pada tahun 1918 di kawasan Belang Gele, yang sekarang termasuk wilayah Kecamatan Bebesen, Aceh Tengah. Selain dibukanya lahan perkebunan, di tahun 1920 muncul kampung baru masyarakat Gayo di sekitar perkebunan kopi Belanda itu, dan pada tahun 1925-1930 mereka membuka sejarah baru dengan membuka kebun-kebun kopi rakyat. Pembukaan itu didasari oleh pengetahuan yang diperoleh petani karena bertetangga dengan perkebunan Belanda itu. Pada akhir tahun 1930 empat buah kampung telah berdiri di sekitar kebun Belanda di Belang Gele itu, yaitu Kampung Belang Gele, Atu Gajah, Paya Sawi, dan Pantan Peseng (Melalatoa, 2003:51).
Salah satu bukti kepurbakalaan yang berkaitan dengan komoditas kopi ini adalah temuan berupa sisa pabrik pengeringan kopi (biji kopi) di dekat Mesjid Baitul Makmur, Desa Wih Porak, Kecamatan Silih Nara, Kabupaten Bener Meriah (dulu Aceh Tengah), Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (Susilowati,2007). Secara astronomis terletak pada 040 36.640′ LU dan 0960 45.660′ BT (47 N 0251594 UTM 0510018). Bekas pabrik pengeringan kopi tersebut menempati lahan berukuran 110 m x 60 m, sebagian kini telah menjadi lahan Pesantren Terpadu Darul Uini. Pada lahan tersebut terdapat sisa bangunan berupa sisa pondasi, sisa tembok bangunan, bekas tempat kincir air, dan beberapa kolam tempat proses pengeringan kopi.
Tempat kincir air ditandai dengan 3 buah tembok berketebalan 15 cm, tinggi sekitar 2 m dan di bagian permukaan atasnya dijumpai masing-masing 2 buah baut besi yang diperkirakan sebagai tempat bertumpunya kincir angin. Di dekat bekas tempat kincir air tersebut dijumpai dua buah kolam tempat pemrosesan kopi, salah satunya berukuran panjang sekitar 2,65 m, lebar, 2,33 m dan tinggi sekitar 1,25 m. Pada bagian selatan terdapat saluran air yang menuju ke kolam di bagian selatan. Selain itu juga terdapat bekas tembok kolam pengering gabah kopi di bagian paling selatan setelah tembok saluran air. Pada bekas tembok kolam tersebut masih terdapat lubang saluran air di bagian utara. Setelah masa kemerdekaan pabrik tersebut pernah terlantar, selanjutnya sekitar tahun 1960-an hingga tahun 1979 pabrik tersebut pernah dikelola oleh PNP I, kemudian kepemilikannya berpindah ke PT Ala Silo dan terakhir lahannya kini dimiliki oleh Dinas Perkebunan Pemerintah Daerah Kab. Aceh Tengah.
Pada paruh kedua tahun 1950-an setelah lepas dari gangguan keamanan akibat pergolakan DI/TII yang menyebabkan keadaan ekonomi rakyat morat-marit, orang Gayo mulai berkebun kopi. Pada periode itu hutan-hutan dibabat untuk dijadikan kebun kopi. Pada tahun 1972 Kabupaten Aceh Tengah tercatat sebagai penghasil kopi terbesar dibandingkan dengan kabupaten lainnya di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Luas areal kebun kopi di Kabupaten Aceh Tengah pada tahun 1972 adalah 19.962 ha.
Perkebunan kopi bagi warga Kabupaten Bener Meriah (pemekaran dari Kab. Aceh Tengah) dan Kabupaten Aceh Tengah merupakan urat nadi perekonomian yang paling menonjol, selain perdagangan sayur mayur seperti kol/kubis, wortel, cabai, dan cokelat. Sebagai komoditas ekspor, 27.953 keluarga di Aceh Tengah menggantungkan hidup mereka pada budi daya kopi dengan luas areal 46.392 ha, dan dengan rata-rata 720,7 kg/ha/tahun (BPS Kab. Aceh Tengah 2005:144-145). Konflik yang berkepanjangan menyebabkan sedikitnya 6.440 ha lahan kopi telantar dan 5.037 keluarga kehilangan lapangan kerja.
Setelah konflik mereda dan ditandatanganinya perjanjian damai RI-GAM pada akhir tahun 2005, para petani kopi kini mulai berani bercocok tanam di kebun kopi yang terletak jauh di lereng gunung, tidak sekedar menanam kopi di pekarangan rumah. Harga jual kopi pun -meski dipengaruhi harga kopi dunia- relatif stabil dan terus menguat karena jalur perdagangan antara Takengon - Bireun - Lhoksemauwe - Medan dapat dilalui kendaraan angkut tanpa resiko besar. Kini, aktivitas perkebunan kopi mulai bangkit kembali dan kini telah menjadi tulang punggung perekonomian di Kabupaten Aceh Tengah dan Bener Meriah.
Sumber:Kopigayo.wordpres.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar